Pendidikan dan pengajaran kita, seperti dikhawatirkan oleh Ki Hadjar Dewantara, berjalan tidak berasas pada kebutuhan sendiri sehingga tidak mampu membebaskan diri dari ketergantungannya pada pihak asing. Dewasa ini tujuh dari sembilan bahan pokok serta berbagai sumber daya alam kita diimpor dari dan dikuasai oleh bangsa lain.
Kendati negeri ini disebut agraris—meski dua pertiga wilayahnya berupa laut—dan memiliki sekolah menengah, fakultas/jurusan/program studi, hingga institut teknologi pertanian, pertanian tidak mengalami kemajuan berarti. Perekonomian bangsa Indonesia tidak bersaka guru, baik pada pertanian maupun kelautan (perairan). Sementara 60 persen rakyat masih hidup dari pertanian, yang 80 persen di antaranya miskin.
Kini setelah 80-an tahun berlalu, kekecewaan Ki Hadjar Dewantara tidaklah sirna, malah menjalari batin bangsa. Pendidikan dan pengajaran, meskipun dilaksanakan oleh pemerintah kita sendiri, ternyata tidak mampu memperbaiki nasib dan martabat bangsa.
Kenyataannya, kedamaian hidup yang didambakan oleh rakyat berkat kesejahteraan dan perlindungan oleh negara masih jauh panggang dari api. Rakyat mati konyol karena tersiksa sebagai TKI di luar negeri. Geng motor, perampokan di siang bolong, pemerkosaan dalam angkot, gangguan sempadan oleh negara jiran adalah sebagian kecil dari fakta yang menandakan bahwa daya negara dalam memberikan perlindungan terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah masih sangat lemah..
sumber : resume kompas cetak hari ini..
0 komentar:
Posting Komentar