Assalamualaikum... Apakabar sobat duraring? Pada bulan suci Ramadhan ini marilah dengan sungguh-sungguh terus menerus mengisi catatan amal kita dengan segala aktifitas ibadah. Kali ini saya ingin menulis tentang sebuah Masjid yang bersejarah di kota Pontianak. Masjid Jami’ Pontianak atau dikenal juga dengan nama Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Masjid ini merupakan satu dari dua bangunan yang menjadi pertanda berdirinya Kota Pontianak pada 1771 Masehi, selain Keraton Kadriyah. (baca juga : Pontianak, Selayang Pandang)
Pendiri masjid sekaligus pendiri Kota Pontianak adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie. Ia seorang keturunan Arab, putra Al Habib Husein, seorang penyebar agama Islam dari Jawa. Al Habib Husein datang ke Kerajaan Matan (kini Kabupaten Ketapang) pada 1733 Masehi. Al Habib Husein menikah dengan putri Raja Matan Sultan Kamaludin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu lahirlah Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama Islam.
![]() |
(panoramio) |
Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruksinya dari kayu. Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi. Ia memiliki putera bernama Syarif Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih berusia kanak-kanak, sehingga belum bisa meneruskan pemerintahan almarhum ayahnya. Maka pemerintahan sementara dipegang adik Syarif Abdurrahman, bernama Syarif Kasim. Setelah Syarif Usman dewasa, dia menggantikan pamannya sebagai Sultan Pontianak, pada 1822 sampai dengan 1855 Masehi. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan dinamakan sebagai Masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa ayahnya.
Beberapa ulama terkenal pernah mengajarkan agama Islam di masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Mereka di antaranya Muhammad al-Kadri, Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H. Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan.
![]() |
Foto dari Panoramio |
Jika melihat ke bagian dalam masjid, terdapat enam pilar dari kayu belian berdiameter setengah meter. Dua pelukan tangan orang dewasa tak akan mampu mencapai lingkaran pilar. Selain pilar bundar, juga ada enam tiang penyangga lainnya yang menjulang ke langit-langit masjid, berbentuk bujur sangkar.
Pilar bujur sangkar itu berukuran kayu belian untuk tiang rumah dewasa ini. Namun ukurannya di atas rata-rata. Jika sekarang ada ukuran 6×6, 7×7, 8×8, dan 10×10 maka tiang tersebut lebih besar lagi.
Masjid itu memiliki mimbar tempat khutbah yang unik, mirip geladak kapal. Pada sisi kiri dan kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada kayu plafon.
![]() |
Foto dari Pontianak Post |
Jarak antara lantai masjid dengan tanah, sekira 50 centimeter. Namun menurut seorang pemuda setempat, tinggi antara lantai masjid dengan tanah sekitar dua meter. Kini kolong masjid sudah dicor semen, agar lantainya tidak semakin turun. Struktur tanah yang labil dan sebagian besar bergambut, menjadikan bangunan-bangunan di Pontianak gampang amblas. Ironisnya, barau yang melindungi halaman masjid dari kikisan air Sungai Kapuas dan dibangun dalam dua tahun terakhir, kini menjadi proyek gagal karena kesulitan keuangan.
Sepintas, terlihat tak banyak berubah dari masjid tua tersebut. Ketika semua sedang berubah dan berkembang, Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman tetap menampakkan wajah lamanya.
![]() |
Senja Hari di Masjid Jami' (skyscrapercity) |
0 komentar:
Posting Komentar